Berita mengejutkan datang dari timur Indonesia. Mushala dibakar, orang-orang yang lagi shalat Ied dilempari. Ummat Islam yang lagi enak-enak makan ketupat sontak emosi. Sebagian menyeru jihad. Sebagian memanfaatkan berita ini untuk (semakin) menyudutkan Pemerintahan Jokowi. Ummat Kristiani kebat-kebit, jangan-jangan ada pembalasan membabibuta. Nanti dulu. Mari pahami situasi di sana.
Tolikara itu nama kabupaten di wilayah pegunungan Jayawijaya, berketinggian 1000 – 3000 mdpl. Luas wilayahnya kira-kira sama dengan jumlah gabungan luas wilayah Kabupaten Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung. Atau sekitar 86 kali luas Kota Bandung. Tapi jumlah penduduknya tak jauh dengan penduduk Kecamatan Babakan Ciparay. Makanan pokok penduduknya ubi jalar yang di kota-kota besar Indonesia agak dihindari karena mengakibatkan sering kentut.
Konsentrasi penduduk berada di Karubaga, ibukota kabupaten. Kepadatan penduduk Tolikara per km2 kurang dari 11 orang. Bandingkan dengan penduduk Kota Bandung yang 13.679 jiwa/km2.
Sejak awal 1950 lalu, para misionaris Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) masuk ke wilayah ini. GIDI resmi berdiri sejak tanggal 12 Februari 1962. Terdaftar pada Departemen Agama RI di Jakarta. Bentuknya Otonom dan Gereja Nasional dengan sistem pemerintahan Presbiterian-Kongregasional. Jadi, ajaran GIDI hanyalah salah satu ajaran umat Kristiani di Indonesia yang lahir di Tolikara, Papua. Mereka pun membangun fasilitas sosial; memiliki 2 buah rumah sakit swasta, pendidikan tingkat atas, perguruan tinggi, sekolah alkitab berbahasa lokal, TK-PAUD, SMP, dan SMU yang tersebar di seluruh wilayah GIDI.
Dari fakta-fakta itu ada tiga hal. Pertama, apa yang dilakukan GIDI bukan representasi ulah ummat Kristen. Gereja HKBP dan Maranatha misalnya, dengan simpatik malah memasang spanduk Selamat Lebaran.
Kedua, adalah konyol berangkat jihad tanpa memperhitungkan kondisi geografis. Latihan dululah hidup di alam bebas sama para ustadz pendaki gunung. Ada Kang Yat Lessie, Fathi Yazid Attamimi – jangan Suriah melulu dipikirkan, Jalan Setapak, Zen Atmawijaya, atau Ardya Rifiantara. Mang Ogun Muhamad Gunawan, Noer Hoeda, Ardeshir Yaftebbi..tah faham bener wilayah itu.
Ketiga, saya teringat pendekatan Ustadz Abu Syauqi beberapa tahun lalu ketika berkompetisi dengan para misionaris di Cimenyan. Kirim para da’I, sediakan rumah tinggal, dan bekali dengan sandang pangan untuk membombardir kemiskinan rakyat. Di daerah-daerah tertinggal, kompetisi dakwah tak cukup dilakukan dengan kata-kata. Apalagi sekedar lewat televisi. Fanatisme terhadap GIDI tumbuh karena memang mereka mendorong kesejahteraan masyarakat.
Biarlah aparat menyelesaikan Tolikara. Masih banyak Tolikara lain yang perlu diantisipasi. Saatnya Pendaki Gunung dan Ustadz berkolaborasi.
ADS HERE !!!